Jangan Asal Latah Pendekatan Ilmiah!
Oleh:
Nine Adien Maulana
Salah satu ciri khas Kurikulum 2013 adalah penekanan yang
kuat pada penerapan pendekatan ilmiah (scientific approach) dalam
pembelajaran semua mata pelajaran, termasuk Pendidikan Agama Islam (PAI).
Langkah-langkah metode ilmiah yang selama ini lebih dikembangkan dalam studi
Sains diadopsi dalam kegiatan pembelajaran. Dengan adopsi ini, pembelajaran
diupayakan mengikuti lima langkah pokok yaitu: 1. mengamati (observing),
2. menanya (questioning), 3. mengekprolasi (exploring), 4.
mengasosiasi (associating), dan 5. mengomunikasikan (communicating).
Langkah-langkah ini diyakini oleh para konseptor Kurikulum 2013 sebagai media
untuk mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan peserta didik secara
terpadu sehingga hasil belajar menjadi lebih produktif, inovatif, kreatif dan
afektif.
Pembelajaran seperti ini merangsang dan melatih peserta
didik mengembangkan pola pikir induktif. Mereka dibiasakan untuk mengonstruksi
suatu pengetahuan berdasar pada cerapan panca indera mereka. Dengan pola pikir
seperti itu, mereka diharapkan mampu menghasilkan karya berbasis pemecahan
masalah.
Penerapan pendekatan ilmiah dalam pembelajaran adalah
sesuatu yang sangat wajar, karena pembelajaran sebenarnya adalah salah satu
proses ilmiah. Meskipun demikian, penerapannya dalam matapelajaran PAI tentu
berbeda dengan matapelajaran yang lain.Umumnya, langkah-langkah pendekatan
ilmiah dalam setiap pembelajaran langsung mengarah kepada obyek kajiannya, hal
ini sangat wajar karena obyek kajiannya bersifat kasat mata. Beda dengan
matapelajaran PAI, tidak semua objek kajiannya kasat mata. Ada objek kajian
yang bersifat tidak kasat mata atau ghaib, khususnya dalam aspek aqidah atau
keimananan.
Jika objek kajian yang tidak kasat mata itu didekati dengan
langkah-langkah pendekatan ilmiah sebagaimana diterapkan pada obyek yang kasat
mata, tentu hal ini menjadi bermasalah. Alih-alih mengokohkan keimanan peserta
didik, pembelajaran ini menjadi salah sasaran; obyek gaib yang seharusnya
diterima sebagai doktrin yang mengacu kepada berita wahyu, namun dipahami
sebagaimana obyek yang kasat mata.
Guru PAI harus sadar bahwa mengajarkan aspek aqidah memiliki
karakteristik yang berbeda dengan aspek yang lain, misal aspek al-Quran,
Akhlak, Fiqh/Syariah dan Tarikh/Sejarah. Pembelajaran dalam empat aspek
tersebut dapat langsung mengarah kepada obyek kajiannya masing-masing, sehingga
langkah-langkah pendekatan ilmiah dapat diterapkan secara langsung. Hal ini
berbeda dengan aspek aqidah yang berisi enam rukun iman itu tidak bisa
diajarkan dengan langkah-langkah pendekatan ilmiah yang secara langsung
mengarah kepada enam rukun iman, karena tidak semuanya kasat mata.
Mengajarkan enam rukun iman sebenarnya mengajarkan berita
tentang obyek keimanan yang disampaikan oleh Allah SWT dan RasulNya.
Berita-berita wahyu (sam’iyyat) itulah yang menjadi dasar utama dalam
mengimani. Sebaliknya, apa yang tidak diberitakan oleh wahyu tidak dapat
dijadikan pijakan iman.
Pendekatan deduktif dalam pembelajaran ini menjadi hal yang
mutlak diperlukan. Dengan demikian obyek kajian utamanya adalah ayat-ayat
al-Quran dan teks-teks al-Hadits yang memberitakan tentang Allah, Malaikat,
Kitab, Rasul, Hari Akhir dan Takdir. Di sinilah pendekatan ilmiah bisa
diterapkan secara tepat. Teks wahyu itulah yang diamati, ditanya, diekprolasi
diasosiasi dan dikomunikasikan. Hasil kajiannya berupa doktrin yang harus
diterima sebagai bagian dari keimanan. Jika hal ini diperkaya dengan kajian
empiris, maka hal itu bisa saja, namun semata-mata untuk mengokohkan berita
wahyu, bukan untuk membangun dasar awal iman.
Para ulama ushuluddin terdahulu sebenarnya telah
memberikan rambu-rambudalam mempelajari aspek keimanan dalam Islam. Penerapan
dalil naqly dan dalil aqly secara tepat sasaran adalah rambu-rambunya. Dalil
naqly adalah dalil yang semata-mata berdasar berita dari al-Quran dan
al-Hadits, sedangkan dalil aqly adalah dalil yang dibangun atas dasar kebenaran
logika dan akal sehat manusia. Obyek keimanan diantara enam rukun iman itu yang
bersifat ghaib harus dipahami semata-mata berdasar dalil naqly, sedangkan yang
bersifat kasat mata dapat dipahami dengan menggunakan dalil naqly dan dalil
aqly sekaligus.
Seringkali orang-orang merujuk pada pengalaman nabi Ibrahim
as dalam proses menemukan Tuhannya dengan pengamatan terhadapat fenomena yang
terjadi di alam semesta (ayat kauniyah). Sayangnya mereka melupakan bahwa akal
nabi Ibrahim as hanya mengantarakan kepada suatu kesadaran bahwa semua fenomena
tersebut pasti ada yang menciptakannya, yaitu Tuhan. Namun, akal beliau tidak
bisa mengantarkan kepada eksistensi Tuhan Allah dengan sifat dan perbuataNya,
jika tanpa petunjuk wahyu yang disampaikan Allah secara langsung kepada beliau.
Hal ini menegaskan bahwa akal dan wahyu saling melengkapi dalam masalah
keimanan selama tepat dalam penggunaannya.
Guru Pendidikan Agama Islam tidak boleh terjebak pada alur
berfikir materialis empiris dalam mengajarkan materi keimananan, sebagaimana
yang dikembangkan dalam kurikulum 2013 melalui pendekatan ilmiah dalam
pembelajaran, sehingga salah penerapan pada obyek apa pendekatan ilmiah
digunakan. Oleh karena itulah mereka harus benar-benar memahami penggunaan
dalil naqly dan aqly dalam masalah keimanan. Bacalah referensi primer ilmu
kalam, agar pemahaman yang disampaikan kepada peserta didik tidak parsial.
Jangan hanya membaca buku paket, karena hanya berisi ringkasan yang seringkali
tidak bisa menghadirkan pemahaman yang lengkap.
Mengajarkan sifat-sifat wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah SWT,
jika hanya bersumber dari buku-buku paket, maka guru tidak akan mendapatkan
pemahaman utuh. Jika pemahaman guru tidak utuh maka dapat dipastikan peserta
didik akan semakin sulit memahami. Dengan kondisi seperti itu, kemudian guru
serta merta menerima pendekatan ilmiah dalam pembelajarannya, namun tidak pas
dalam penerapan, maka hal itu akan menjadi kotraproduktif. Belajar iman tapi
hasilnya semakin tidak mantap iman. Belajar tauhid, tapi hasilnya malah
memposisikan Allah SWT sebagaimana makhluk. Tentu ini adalah ironi.
Semoga guru-guru Pendidikan Agama Islam kita tidak seperti
yang penulis khawatirkan. Amiin. []
Tidak ada komentar